Dilema Kurikulum 2013
PADA ”hari ulang tahunnya” yang kedua, Kurikulum 2013 akhirnya dievaluasi.
Sudah diputuskan mulai tahun depan,
untuk sementara, Kurikulum 2013 hanya akan diterapkan di 6.221 sekolah
yang sejak Juli 2013 sudah menjalani uji coba. Sisanya kembali ke
Kurikulum 2006 sampai betul-betul siap. A win-win solution.
Keputusan di pengujung tahun ajaran
ini tak mudah karena akan mengubah seluruh proses pembelajaran di
sekolah. Namun, menurut tim evaluasi Kurikulum 2013 atau sering
disingkat K-13, keputusan ini pilihan kompromis mengakomodasi pandangan
pro dan kontra mengenai K-13, meski ini kemudian dikoreksi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. ”Ini bukan masalah kompromi.
Ini demi kepentingan anak bangsa kita.”Ada
tiga pilihan dari tim evaluasi K-13. Pertama, penghentian total K-13.
Kedua, sekolah yang sudah tidak bermasalah dengan K-13 silakan lanjut,
tetapi sekolah yang belum silakan kembali ke Kurikulum 2006. Ketiga,
tetap jalan seperti sekarang untuk semua sekolah, tetapi dengan evaluasi
kekurangan. Pilihan jatuh pada penghentian K-13 di semua sekolah dan
konsentrasi hanya pada 6.221 sekolah.
Pilihan ini memunculkan pertanyaan
lanjutan. Jika ada sebagian sekolah memakai K-13 dan sebagian lagi pakai
Kurikulum 2006, lalu bagaimana dengan proses evaluasi hasil belajar
murid? Standar evaluasi seperti apa yang dibutuhkan? Apakah ujian
nasional masih relevan dengan duo kurikulum yang ada? Masalah-masalah
ini barangkali masih dibahas tim evaluasi K-13.
Bagi yang mengikuti perkembangan K-13
dan melaksanakannya di lapangan, selama satu tahun terakhir ini
implementasi K-13 diwarnai keluh kesah dan protes di mana-mana.
Utamanya, pada masalah ketidaksiapan guru dan ketiadaan buku pegangan.
Ketidaksiapan guru karena pelatihan
terlalu singkat dan kurang praktik lebih mirip penataran. Ketiadaan buku
pegangan urusannya lebih pelik karena terkait dengan pihak ketiga,
yakni penyedia buku atau percetakan. Intinya, segala keruwetan pada
implementasi bermula karena serba terburu-buru.
Nasi belum terlalu jadi bubur. Masih
ada waktu memperbaiki atau menyempurnakan K-13. Butuh solusi konkret dan
cepat dari Kemendikbud. Sudahi saja dulu sikap menyalahkan pemerintahan
sebelumnya. Tak perlu juga membongkar semua kebijakan Mendikbud
sebelumnya. Lanjutkan saja yang bagus dan perbaiki yang masih kurang.
Butuh gerak cepat karena waktu tak banyak.
Mau ke mana?
Mumpung sedang dievaluasi, ada baiknya
pemerintah sekalian menyempurnakan K-13, dari awal. Itu dimulai dengan
gagasan atau cita-cita harapan arah pembangunan bangsa dan ”wujud”
generasi yang hendak dilahirkan untuk mencapai harapan itu. Jika hal
mendasar itu sudah jelas dan rencana pembangunan jangka pendek,
menengah, dan panjang juga terang, akan jelas pula jenis kurikulum yang
dibutuhkan.
Pada dasarnya, kurikulum dibuat sesuai
perkembangan zaman. Ini setidaknya sudah dilakukan dalam K-13.
Teorinya, K-13 menekankan pembelajaran aktif dengan materi tematik
integratif dan pendekatan ilmiah.
Dalam dua tahun terakhir, sebagian
guru, terutama di kota, mengakui anak-anak lebih senang belajar dengan
cara ini karena tidak membosankan. Suasana kelas menjadi lebih hidup.
Namun, sebagian guru masih kesulitan karena belum terbiasa.
Guru
Guru-guru yang ada di Karawang dan
Pandeglang yang relatif dekat dengan ibu kota Jakarta saja masih
terbata-bata dalam mengajar. Pelatihan 52 jam tak cukup. Perlu pelatihan
lanjutan yang disesuaikan dengan kelemahan guru masing-masing.
Pelatihan model ini sudah masuk dalam
agenda rencana Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemendikbud.
Berbekal hasil uji kompetensi guru yang dilakukan 2-3 tahun lalu, setiap
guru dijanjikan akan mendapat pelatihan yang didesain khusus sesuai
kebutuhan dan yang menjadi titik lemah setiap guru. Catatan atau rapor
guru ini sudah ada di Kemendikbud dan tinggal ditindaklanjuti saja.
Guru merasa belum bisa itu wajar
karena bentuk pelatihan guru dinilai oleh pelatih guru Itje Chodidjah
terlalu sederhana dan ”seragam” tanpa memerhatikan perbedaan kualitas
guru, murid, sekolah, dan tradisi atau kekayaan lokal. Guru tidak
dilatih cara mengelola ruang kelas sesuai jenis sekolahnya. Pelatihan
guru yang ideal seharusnya kontekstual sesuai karakter daerah meski
materinya sama. ”Ingat lho, kondisi dan latar belakang guru itu
berbeda-beda,” ujarnya.Pelatihan yang benar disertai pendampingan materi
dan cara mengajar yang rutin lambat laun akan bisa mengubah pola pikir
guru. Sudah bukan zamannya lagi guru yang kaku. Masalahnya, menurut
Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Sunaryo Kartadinata, sejauh ini
belum ada model pelatihan yang mampu mengubah pola pikir guru. Ini bisa
diperbaiki sambil jalan dan sekaligus solusi jangka panjang seperti
memperbaiki ”pabrik guru”, yakni lembaga pendidikan tenaga kependidikan.
Persoalan pendidikan tak akan pernah
habis. Dengan terbatasnya waktu, kita harus bergegas menentukan
prioritas dan bergerak. Saatnya menyingsingkan lengan baju dan bekerja.
Anak-anak bangsa ini menanti karya nyata.
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar