Petisi K-13 untuk Mendikbud
![pupus](http://widiyanto.com/wp-content/uploads/2013/05/pupus-300x150.jpg)
Bapak Anies Baswedan yang terhormat.
Tulisan ini sebagai petisi penulis
terhadap keputusan Anda selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) yang telah menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 atau
K-13, Jumat (5/12) lalu. Atas keputusan Anda itu, kurikulum pengganti
Kurikulum 2006 itu dihentikan karena dinilai mengandung banyak masalah.
Pertanyaannya kini, apa dan bagaimana implikasi dari penghentian K-13
itu? Banyak pihak menilai bahwa implementasi
K-13 terkesan dipaksakan. Salah satu pihak yang menilai hal itu ialah
Prof Hafid Abbas dari UNJ (Kompas, 13/3/2013). Ia mengkritik keras bahwa
modus perubahan kurikulum lebih terkesan sebagai ikhtiar dadakan karena
tidak didahului persiapan yang lebih matang. Buktinya, perencanaan
anggaran K-13 selalu berubah-ubah dalam rapat koordinasi dengan DPR
saat itu.
Ditambah lagi kurang gencarnya
sosialisasi K-13 kepada para guru sehingga konsep kurikulum pengganti
Kurikulum 2006 itu tidak jelas, bahkan dipahami secara berbeda-beda oleh
para guru. Di kemudian hari, terjadi pula keterlambatan pengiriman buku
ajar K-13 siswa dan guru di sekolah, padahal Mendikbud (saat itu)
Mohammad Nuh telah berjanji akan mengirimkannya sebelum semester
dimulai. Hingga kini keterlambatan itu ternyata masih terjadi saja.
Repot Memberi Penilaian
Selain itu, tak sedikit guru mengeluh
repotnya memberikan penilaian terhadap siswanya secara deskriptif
dan per orang. Dalam K-13, penilaian hasil pembelajaran
disampaikan dalam bentuk deskripsi kemampuan siswa (per orang).
Bisa dibayangkan, jika di kelas terdapat 30 siswa, maka seorang guru
mata pelajaran (mapel) harus membuat penilaian deskripsi 30 siswa
pula. Bagi para guru, hal ini sangat menyita waktu di tengah kesibukan
mengajar dan lain-lain.
Berbeda dengan K-13, dalam Kurikulum
2006, penilaian hasil pembelajaran dalam bentuk deskripsi kompetensi
mata pelajaran, bukan kemampuan siswa. Jadi, para guru cukup
menulis kompetensi pelajaran mana yang sudah dicapai dan belum dicapai.
Lagi pula, selama ini tak banyak siswa yang memperhatikan perihal
deskripsi kompetensi mata pelajaran di lembar rapot. Justru para siswa
lebih tertarik melihat angka hasil mata pelajaran.
Pak Menteri yang percaya diri, jika
Anda dan tim memilih agar K-13 dilanjutkan dengan koreksi/perbaikan,
maka di tangan Anda pula perbaikan-perbaikan harus dilakukan. Pertama,
Anda perlu mengatasi persoalan keterlambatan buku ajar K-13 siswa dan
guru di sekolah. Kurikulum apapun yang diterapkan, termasuk K-13,
para guru selalu bertipe textbook thinking. Mereka tak pernah lepas dari
buku ajar dan lembar kerja siswa (LKS) di kelas.
Kedua, Anda perlu menyelenggarakan
pelatihan-pelatihan bagi guru semua mapel, baik guru PNS maupun guru
non-PNS, baik guru di pusat maupun di daerah secara periodik. Sekadar
usul, Anda bisa mendayagunakan keberadaan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) serta Kelompok Kerja Kepala Sekolah/Madrasah guna
mendorong para guru aktif dalam pelatihan guru. Misalnya, pelatihan
inovasi mengajar, penyusunan proposal PTK, dsb.
Jujur saja, para guru kita terbilang
rendah pengalaman dalam hal pelatihan guru. Secara prediktif, saya bisa
menyebut jumlah 2-4 guru di sekolah yang intens mengikuti pelatihan
guru, selebihnya banyak guru yang abai. Jadi, jika Pak Menteri
berhasil mendayagunakan kembali forum MGMP dan KKS/KKM ke arah
pelatihan guru yang sifatnya ilmiah, kreatif, dan inovatif, hal itu
merupakan langkah tepat dan patut didukung oleh siapa pun, termasuk
penulis.
Kembali ke Kurikulum 2006
Pak Menteri yang pekerja keras, jika
Anda dan tim memilih agar K-13 ditunda, maka di tangan Anda pula
Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
diberlakukan lagi. Hanya saja, Anda perlu mencatat bagian mana yang
dianggap baik dan kurang baik/perlu diperbaiki dalam implementasi
Kurikulum 2006. Saya pikir sudah banyak hasil penelitian yang
mengungkapkan tentang implementasi kurikulum tersebut.
Salah satu keunggulan dari Kurikulum
2006 ialah pihak sekolah/guru diberikan keleluasaan dalam mengajar di
kelas. Misalnya saja, materi ajar boleh sesuai dengan kekhasan tiap-tiap
sekolah. Namun, hal itu juga yang menjadi kelemahan dari kurikulum
pengganti Kurikulum 2004 itu, yakni disparitas sarana dan prasarana
sekolah. Sekolah yang memiliki perpustakaan unggul tentu gampang untuk
memberikan bahan bacaan bagi siswanya.
Di sini, sarana dan prasarana sekolah
menjadi faktor yang lebih dominan daripada faktor kurikulum semata.
Sebagus apapun kurikulum dirancang oleh pemerintah, termasuk K-13 dan
Kurikulum 2006, jika tak ada guru yang berkinerja baik dan sarana dan
prasarana sekolah yang lengkap, maka kurikulum tinggallah kurikulum.
Hemat saya, Menteri Anies perlu bekerja keras guna membenahi mutu
standar pelayanan minimal, tak hanya kurikulum saja.
Dalam hal ini, pihak sekolah juga
dituntut harus berbenah diri dalam mempersiapkan sarana dan prasarana
secara lengkap. Mulai dari perpustakaan, laboratorium bahasa dan IPA,
ruang teater, hingga lapangan olah raga yang memadai. Kesemua sarana
dan prasarana itu layak disediakan oleh pihak sekolah apabila
pelaksanaan pembelajaran ingin terbilang sukses. Tanpa itu, sekali
lagi, kurikulum tinggallah kurikulum. K-13 tinggallah K-13.
Menteri Anies yang optimis,
penghentian pelaksanaan K-13 tak perlu disesali atau bahkan dicaci-maki.
Alih-alih begitu, kita semua justru memperoleh pelajaran dari hal
tersebut. Bahwa pelaksanaan kurikulum semestinya memperhatikan
aspek-aspek pendukungnya, antara lain, guru, siswa, buku teks,
sarana-prasarana sekolah, serta orang tua siswa. Aspek terakhir yang
disebut bahkan sering dilupakan oleh pengambil kebijakan selama ini.
Untuk itu, kini saatnya Menteri Anies
turun tangan membenahi sektor pendidikan dasar dan menengah. Harap
diingat, Indonesia bukanlah Jawa, dan Jawa bukanlah Jakarta. Oleh karena
itu, Menteri Anies harus rajin blusukan ke sekolah-sekolah di seluruh
wilayah Indonesia, agar mengerti apa-apa saja yang patut diperbaiki.
Keputusan penghentian K-13 pada Jumat (5/12) lalu merupakan
gebrakan pertama dan bukan yang terakhir.
Salam hormat dari saya,
Sudaryanto ; Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar