Kurikulum Kembali ke Asal
Widianto.com
 Setiap
 sekolah pasti menginginkan tumbuh dan berkembangnya peserta didik 
menjadi sosok yang mampu mewujudkan seluruh harapan, baik harapan orang 
tua, guru atau bahkan negara.
Setiap
 sekolah pasti menginginkan tumbuh dan berkembangnya peserta didik 
menjadi sosok yang mampu mewujudkan seluruh harapan, baik harapan orang 
tua, guru atau bahkan negara.
Seluruh harapan tersebut dikelola 
dalam sistem pembelajaran yang dipandu dengan metodologi yang disebut 
dengan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003 
tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan 
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang 
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk 
mencapai tujuan pendidikan tertentu.Nah, 
inilah yang disebut dengan kurikulum, yang hari ini menjadi kalimat yang
 menghebohkan jagat pendidikan Indonesia dengan bumbu penyedap yang 
beraroma politik, bisnis, psikologi guru dan murid, antara sedih, 
bimbang dan senang.
Hebohnya kurikulum disebabkan oleh 
pernyataan resmi dari Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah 
Republik Indonesia yang secara tegas menghentikan penggunaan Kurikulum 
2013 mulai semester genap tahun ajaran ini dan kembali memberlakukan 
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Saya tidak akan masuk dalam ranah 
perdebatan tentang mana yang lebih berkualitas antara KTSP 2006 atau 
Kurikulum 2013, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan 
penilaian secara akademik dan ilmiah mengenai kedua hal tersebut.
Apabila kita berangkat dari filosofi 
dasar bahwa pendidikan nasional itu memiliki tujuan utama mewujudkan 
manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana dua tulisan saya terdahulu, maka
 fokus sekolah adalah membentuk karakter dasar setiap anak didiknya. 
Karakter dasar tersebut meliputi pemahaman anak didik tentang dirinya, 
tentang alamnya, tentang kebudayaannya secara utuh dan menyeluruh, baik 
dari sisi aspek ontologis, kosmologis maupun antropologis.
Kalau dalam bahasa kakek saya, 
pembentukan watak kemanusiaan yang utuhadalah manusa nuweruhka semuna, 
apal ka basana, rancingas rasana, rancagé haténa, cageur, bageur, bener,
 pinter jeung singer. Hal tersebut menunjukkan dalam kerangka ideologis 
Bangsa Indonesia memiliki konsep pendidikan yang paripurna dibanding 
mazhab pendidikan lainnya di dunia.
Konsepsi tersebut mengarah pada upaya 
menghadirkan pendidikan yang hidup dan menghidupkan di tengah perjalanan
 manusia menuju kesempurnaan hidup yang esensial. Pendidikan harus mampu
 menghadirkan anak didik tentang pengetahuan mengenai dirinya, siapa 
aku, dari mana aku, sedang di mana aku, akan ke mana aku.
Dalam hal yang sederhana, pendidikan 
harus mengajarkan hal tentang dirinya, tentang lingkungannya, tentang 
kesemestaannya yang pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan 
Kemahaluasan Tuhan dan Kesemestaan penciptaan-Nya.
Kebijakan pendidikan sifatnya general,
 tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis karena aspek-aspek yang 
bersifat teknis dan spesifik itu merupakan kewenangan guru yang harus 
hadir mengartikulasikan diri dan lingkungannya berdasarkan nalar dan 
rasa yang bersifat dinamis.
Pelajaran pertama yang harus diberikan
 kepada para murid adalah melakukan pembelajaran yang meliputi membaca, 
menulis dan menghitung.
Membaca mengajarkan kepada murid untuk
 memiliki pengetahuan tentang huruf yang dieja dan tentang diri yang 
tersusun dan terstruktur secara sempurna, dua mata saya hidung saya 
satu, dua telinga saya yang kiri dankanan, diajarkanpula membaca 
alam,pelangi-pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang
 biru, kemudian anak-anak diajarkan untuk mengenal huruf, membaca sebuah
 nama, walaupun pengajaran tersebut sering kali tidak selaras dengan 
realitas budaya di suatu wilayah.
Saya ingat ketika saya kelas satu SD 
dulu, saya diajari untuk membaca “Ini Budi” . Nama Budi menjadi nama 
yang asing bagi kami karena di kelas dan di kampung saya tidak ada yang 
namanya Budi. Itu bagi kami yang orang Sunda, bagaimana pula bagi orang 
Jawa, Bali, Sumatera, Papua, Aceh, Sulawesi, mereka akan semakin asing 
dengan nama ini.
Di Bali tidak ada nama Budi, yang ada 
Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, atau di Aceh yang lebih akrab dengan Cut 
dan Teuku. Nama Budi mah kebanyakan orang Jakarta. Dari situ saja, kita 
memang tidak diajarkan untuk mengenal diri kita. Setelah itu saya harus 
membaca lagi, kalimat “Ibu pergi ke pasar, Ibu pergi ke pasar” 
berulang-ulang.
Padahal saya memanggil ibu saya “Emi” 
dan Emi saya jarang ke pasar, paling sebulan sekali kalau bapak saya 
dapat uang pensiun dari kantor pos. Dalam kesehariannya, kebanyakan Emi 
pergi ke sawah dan ke ladang, bukan ke pasar. Terus ada kalimat lagi, Bu
 Ani guru Budi. Guru saya kan bukan Bu Ani, tapi Bu Epon. Haduuh, makin 
tidak mengenal saya sama guru saya, makin jauh saja ini pelajaran. Itu 
dulu tahun 1977, yang sekarang lebih parah lagi.
Kelas 1 SD tidak lagi belajar membaca 
dan menulis, karena rata-rata mereka sudah harus bisa membaca dan 
menulis sebelum masuk kelas 1 SD. Kalau seperti itu, ada pembebanan 
pelajaran pada anak-anak TK, jangan disalahkan kalau saat ini anak usia 
14 tahun bahkan 10 tahun perilakunya sudah dewasa, karena mereka 
mengalami proses pendewasaan sebelum waktunya.
Karena hilangnya fase kehidupan 
sebagai anak yang merdeka dari berbagai tekanan pendidikan formal yang 
mereka alami, sehingga ketika mereka menginjak usia remaja bahkan dewasa
 mereka masih berperilaku seperti anak-anak.
Perilaku tersebut terlihat dari pola 
hidup yang manja, kadang manja dalam sikap, kadang “manja” mandi jarang,
 pendidikannya memang tinggi tetapi hidup bergantung pada orang tua 
secara total dari mulai jajan, biaya pakaian, biaya beli rokok, beli 
premium, beli pertamax, beli solar, beli pulsa, bahkan sampai biaya 
nikah dan biaya untuk melahirkan anak hasil pernikahannya.
Bahkan biaya pendidikan anaknya pun 
dibebankan kepada orang tuanya. Sifat kekanak-kanakan lainnya, 
diwujudkan dengan menggalang komunitas yang sering kali memicu aksi 
solidaritas, hidup bergerombol, tawuran yang terorganisir.
Sifat kekanak-kanakan pada usia remaja
 dan dewasa tersebut, salah satu faktornya disebabkan hilangnya 
masa-masa indah mereka sebagai anak-anak. Selain melakukan transformasi 
ruang budaya, pendidikan juga semestinya membuat ruang bagi pertumbuhan 
dan perkembangan fase-fase kehidupan anak.
Selain problem pembelajaran yang 
semakin menjauhkan pendidikan pada pembentukan karakter anak didiknya, 
lingkungan saat ini semakin menjauhkan anakanak kita dari kegundahan 
diri yang dialaminya. Pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh suara
 yang didengar setiap saat.
Musik yang didengar oleh anak-anak 
kita hari ini sudah tidak lagi melambangkan keriangan anak secara alami.
 Karya cipta lagu yang didengar dalam setiap saat lebih melambangkan 
kegundahan kaum-kaum muda dewasa terhadap berbagai problem yang 
dihadapinya, baik problem cinta, rumah tangga, sejujurnya ku tak bisa 
hidup tanpa ada kamu aku gila…, atau terlarut dalam jiwa wanita yang 
ditinggalkan berselingkuh oleh suaminya, “Bang, SMS siapa ini Bang…,” 
atau pria yang ditinggalkan oleh istrinya yang selingkuh, “O ow, kamu 
ketahuan pacaran lagi….”
Karena itu anak-anak kita hanyut dalam
 romantika yang belum waktunya. Mereka tidak lagi ada yang mewakili 
untuk mengekspresikan kekecewaan diri karena kesibukan ibu dan bapaknya,
 kehilangan ruang bermainnya, kehilangan berbagai binatang 
kesayangannya.
Tidak ada lagi yang mewakili mereka 
yang gundah karena hilangnya cicak-cicak di dinding, nyaris tak 
terdengar lagi tik-tik bunyi hujan di atas genting, hilangnya burung 
kutilang yang berbunyi, bahkan papatong nu konéng teu témbong deui… 
leungit indit teu pamit. Di tengah-tengah keheningan dan kegundahan 
anak-anak kita, untung saja masih ada para politisi yang mau mewakili 
mereka dengan bermain petak umpet palu sidang paripurna.
Bahkan kebahagiaan anak-anak untuk 
bermain mobil-mobilan, kapal-kapalan, anjang-anjangan , bobonekaan, hari
 ini disuguhkan dengan manis dengan permainan komisi-komisian, 
ketuaketuaan, wakil-wakilan, partai-partaian, dan gubernur-gubernuran.
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
 

 
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar