Kurikulum Kembali ke Asal
Widianto.com
![kembali](http://widiyanto.com/wp-content/uploads/2014/12/kembali.jpg)
Seluruh harapan tersebut dikelola
dalam sistem pembelajaran yang dipandu dengan metodologi yang disebut
dengan kurikulum. Kurikulum menurut Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.Nah,
inilah yang disebut dengan kurikulum, yang hari ini menjadi kalimat yang
menghebohkan jagat pendidikan Indonesia dengan bumbu penyedap yang
beraroma politik, bisnis, psikologi guru dan murid, antara sedih,
bimbang dan senang.
Hebohnya kurikulum disebabkan oleh
pernyataan resmi dari Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah
Republik Indonesia yang secara tegas menghentikan penggunaan Kurikulum
2013 mulai semester genap tahun ajaran ini dan kembali memberlakukan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.
Saya tidak akan masuk dalam ranah
perdebatan tentang mana yang lebih berkualitas antara KTSP 2006 atau
Kurikulum 2013, karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan
penilaian secara akademik dan ilmiah mengenai kedua hal tersebut.
Apabila kita berangkat dari filosofi
dasar bahwa pendidikan nasional itu memiliki tujuan utama mewujudkan
manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana dua tulisan saya terdahulu, maka
fokus sekolah adalah membentuk karakter dasar setiap anak didiknya.
Karakter dasar tersebut meliputi pemahaman anak didik tentang dirinya,
tentang alamnya, tentang kebudayaannya secara utuh dan menyeluruh, baik
dari sisi aspek ontologis, kosmologis maupun antropologis.
Kalau dalam bahasa kakek saya,
pembentukan watak kemanusiaan yang utuhadalah manusa nuweruhka semuna,
apal ka basana, rancingas rasana, rancagé haténa, cageur, bageur, bener,
pinter jeung singer. Hal tersebut menunjukkan dalam kerangka ideologis
Bangsa Indonesia memiliki konsep pendidikan yang paripurna dibanding
mazhab pendidikan lainnya di dunia.
Konsepsi tersebut mengarah pada upaya
menghadirkan pendidikan yang hidup dan menghidupkan di tengah perjalanan
manusia menuju kesempurnaan hidup yang esensial. Pendidikan harus mampu
menghadirkan anak didik tentang pengetahuan mengenai dirinya, siapa
aku, dari mana aku, sedang di mana aku, akan ke mana aku.
Dalam hal yang sederhana, pendidikan
harus mengajarkan hal tentang dirinya, tentang lingkungannya, tentang
kesemestaannya yang pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan
Kemahaluasan Tuhan dan Kesemestaan penciptaan-Nya.
Kebijakan pendidikan sifatnya general,
tidak mengatur hal-hal yang bersifat teknis karena aspek-aspek yang
bersifat teknis dan spesifik itu merupakan kewenangan guru yang harus
hadir mengartikulasikan diri dan lingkungannya berdasarkan nalar dan
rasa yang bersifat dinamis.
Pelajaran pertama yang harus diberikan
kepada para murid adalah melakukan pembelajaran yang meliputi membaca,
menulis dan menghitung.
Membaca mengajarkan kepada murid untuk
memiliki pengetahuan tentang huruf yang dieja dan tentang diri yang
tersusun dan terstruktur secara sempurna, dua mata saya hidung saya
satu, dua telinga saya yang kiri dankanan, diajarkanpula membaca
alam,pelangi-pelangi alangkah indahmu, merah kuning hijau di langit yang
biru, kemudian anak-anak diajarkan untuk mengenal huruf, membaca sebuah
nama, walaupun pengajaran tersebut sering kali tidak selaras dengan
realitas budaya di suatu wilayah.
Saya ingat ketika saya kelas satu SD
dulu, saya diajari untuk membaca “Ini Budi” . Nama Budi menjadi nama
yang asing bagi kami karena di kelas dan di kampung saya tidak ada yang
namanya Budi. Itu bagi kami yang orang Sunda, bagaimana pula bagi orang
Jawa, Bali, Sumatera, Papua, Aceh, Sulawesi, mereka akan semakin asing
dengan nama ini.
Di Bali tidak ada nama Budi, yang ada
Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, atau di Aceh yang lebih akrab dengan Cut
dan Teuku. Nama Budi mah kebanyakan orang Jakarta. Dari situ saja, kita
memang tidak diajarkan untuk mengenal diri kita. Setelah itu saya harus
membaca lagi, kalimat “Ibu pergi ke pasar, Ibu pergi ke pasar”
berulang-ulang.
Padahal saya memanggil ibu saya “Emi”
dan Emi saya jarang ke pasar, paling sebulan sekali kalau bapak saya
dapat uang pensiun dari kantor pos. Dalam kesehariannya, kebanyakan Emi
pergi ke sawah dan ke ladang, bukan ke pasar. Terus ada kalimat lagi, Bu
Ani guru Budi. Guru saya kan bukan Bu Ani, tapi Bu Epon. Haduuh, makin
tidak mengenal saya sama guru saya, makin jauh saja ini pelajaran. Itu
dulu tahun 1977, yang sekarang lebih parah lagi.
Kelas 1 SD tidak lagi belajar membaca
dan menulis, karena rata-rata mereka sudah harus bisa membaca dan
menulis sebelum masuk kelas 1 SD. Kalau seperti itu, ada pembebanan
pelajaran pada anak-anak TK, jangan disalahkan kalau saat ini anak usia
14 tahun bahkan 10 tahun perilakunya sudah dewasa, karena mereka
mengalami proses pendewasaan sebelum waktunya.
Karena hilangnya fase kehidupan
sebagai anak yang merdeka dari berbagai tekanan pendidikan formal yang
mereka alami, sehingga ketika mereka menginjak usia remaja bahkan dewasa
mereka masih berperilaku seperti anak-anak.
Perilaku tersebut terlihat dari pola
hidup yang manja, kadang manja dalam sikap, kadang “manja” mandi jarang,
pendidikannya memang tinggi tetapi hidup bergantung pada orang tua
secara total dari mulai jajan, biaya pakaian, biaya beli rokok, beli
premium, beli pertamax, beli solar, beli pulsa, bahkan sampai biaya
nikah dan biaya untuk melahirkan anak hasil pernikahannya.
Bahkan biaya pendidikan anaknya pun
dibebankan kepada orang tuanya. Sifat kekanak-kanakan lainnya,
diwujudkan dengan menggalang komunitas yang sering kali memicu aksi
solidaritas, hidup bergerombol, tawuran yang terorganisir.
Sifat kekanak-kanakan pada usia remaja
dan dewasa tersebut, salah satu faktornya disebabkan hilangnya
masa-masa indah mereka sebagai anak-anak. Selain melakukan transformasi
ruang budaya, pendidikan juga semestinya membuat ruang bagi pertumbuhan
dan perkembangan fase-fase kehidupan anak.
Selain problem pembelajaran yang
semakin menjauhkan pendidikan pada pembentukan karakter anak didiknya,
lingkungan saat ini semakin menjauhkan anakanak kita dari kegundahan
diri yang dialaminya. Pembentukan karakter sangat dipengaruhi oleh suara
yang didengar setiap saat.
Musik yang didengar oleh anak-anak
kita hari ini sudah tidak lagi melambangkan keriangan anak secara alami.
Karya cipta lagu yang didengar dalam setiap saat lebih melambangkan
kegundahan kaum-kaum muda dewasa terhadap berbagai problem yang
dihadapinya, baik problem cinta, rumah tangga, sejujurnya ku tak bisa
hidup tanpa ada kamu aku gila…, atau terlarut dalam jiwa wanita yang
ditinggalkan berselingkuh oleh suaminya, “Bang, SMS siapa ini Bang…,”
atau pria yang ditinggalkan oleh istrinya yang selingkuh, “O ow, kamu
ketahuan pacaran lagi….”
Karena itu anak-anak kita hanyut dalam
romantika yang belum waktunya. Mereka tidak lagi ada yang mewakili
untuk mengekspresikan kekecewaan diri karena kesibukan ibu dan bapaknya,
kehilangan ruang bermainnya, kehilangan berbagai binatang
kesayangannya.
Tidak ada lagi yang mewakili mereka
yang gundah karena hilangnya cicak-cicak di dinding, nyaris tak
terdengar lagi tik-tik bunyi hujan di atas genting, hilangnya burung
kutilang yang berbunyi, bahkan papatong nu konéng teu témbong deui…
leungit indit teu pamit. Di tengah-tengah keheningan dan kegundahan
anak-anak kita, untung saja masih ada para politisi yang mau mewakili
mereka dengan bermain petak umpet palu sidang paripurna.
Bahkan kebahagiaan anak-anak untuk
bermain mobil-mobilan, kapal-kapalan, anjang-anjangan , bobonekaan, hari
ini disuguhkan dengan manis dengan permainan komisi-komisian,
ketuaketuaan, wakil-wakilan, partai-partaian, dan gubernur-gubernuran.
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar