Pelajaran Matematika menurut Tan Malaka
 Tak
 ada yang pernah melihat atau pun meraba bilangan Satu, Setengah, akar 
dua, atau bilangan lainnya. Yang mampu dilihat manusia hanyalah lambang 
angka yang merupakan penyajian bilangan seperti ‘1’. Sedangkan bilangan 
itu sendiri nirwujud.
Tak
 ada yang pernah melihat atau pun meraba bilangan Satu, Setengah, akar 
dua, atau bilangan lainnya. Yang mampu dilihat manusia hanyalah lambang 
angka yang merupakan penyajian bilangan seperti ‘1’. Sedangkan bilangan 
itu sendiri nirwujud.
Demikian obyek lain seperti titik di 
Geometri. Tak mungkin ada manusia yang mampu melihat obyek tak 
berdimensi ini. Manusia juga tak pernah melihat lingkaran ideal menurut 
matematika, karena tak mungkin ada jangka demikian sempurna dengan ujung
 pensil di depannya yang demikian tajam sampai mampu menggambarkan 
sebuah lingkaran sempurna, dengan ketebalan garis nol satuan. Karena 
itu, Tan Malaka mengistilahkan matematika sebagai ilmu tak bermateri. 
Ini satu dari dua hakikat matematika yang dipesankan Tan Malaka.Obyek
 matematika seperti di atas merupakan gagasan ideal yang berujud nyata 
senyata-nyatanya di benak manusia semata. Hanya nalar manusia yang 
sanggup mewujudkan tiga obyek tersebut.  Tiap terucap kata lingkaran, di
 benak akan tergambar lingkaran sempurna. Hanya nalar manusia yang mampu
 merasakan keujudan objek matematika tersebut. Bahkan, sebagian malah 
sampai berkeyakinan bahwa gagasan seperti bilangan, titik, dan lingkaran
 tadi justru lebih nyata ketimbang benda duniawi. Picasso berkata bahwa 
jika sesuatu dapat diimaginasikan, maka sesuatu itu nyata. Konsep 
bilangan negatif di matematika sejatinya lebih nyata dari kursi yang 
diduduki, karena bilangan negatif diimaginasikan, sedang kursi sering 
difungsikan, tidak diimaginasikan.
Karena ada di tataran gagasan, 
argumentasi matematika tak dapat dilandaskan pada suatu pengamatan 
kenyataan, apalagi pengalaman kehidupan tertentu berlandaskan panca 
indra. Akibatnya, argumen bahwa definisi perkalian harus mengikuti 
kebiasaan penulisan resep obat atau fenomena kehidupan lain, misalnya, 
sungguh bukan argumen matematika yang sahih.
Pertama dan yang utama, matematika 
dibangun dengan argumen yang taat berdasarkan pernalaran deduktif saja. 
Bahwa ada gagasan matematika yang diinspirasi oleh fenomena di alam atau
 di kehidupan nyata, itu benar adanya. Namun, tidak pernah ada argumen 
matematika yang dilandaskan pada fenomena alam. Argumen matematika tidak
 dapat dibuktikan oleh bahkan sejuta fenomena kehidupan. Fenomena 
kehidupan bagi matematika hanyalah sebuah ilustrasi tak sempurna dari 
gagasan matematika. Bahkan percobaan di laboratorium paling canggih pun 
tak akan pernah memvalidasi atau menyangkal pernyataan matematika.
Sebagai ilustrasi, di Geometri Bidang 
yang dipelajari anak SMP, ada pernyataan bahwa jumlah ketiga sudut dari 
segitiga apapun senantiasa membentuk sudut 180 derajat. Membuktikan 
pernyataan ini tak dapat dengan contoh, tetapi harus berdasar pernalaran
 deduktif semata.
Justru karena ketaatan berargumen 
berdasar bernalar deduktif semata itu, matematika menjadi sangat 
bermanfaat bagi disiplin lain dan kehidupan. Karena tak menggantungkan 
pada suatu fenomena kehidupan, matematika dapat dimanfaatkan saat 
membangun jembatan sampai menguji kejujuran pemilu. Dapat dibayangkan 
jika saja ada teori matematika yang argumennya didasarkan pada suatu 
pengukuran fenomena kimia, maka teori matematika itu hanya sah jika 
diterapkan di kimia saja.
Di sini paradoksnya. Karena argumennya
 tak tercemar dari argumentasi fenomena bidang keilmuan lain, penerapan 
matematika di berbagai bidang menjadi terjamin kesahihannya.
Saat ini, praktik pengajaran 
matematika sekolah di Indonesia masih ada yang belum sejalan dengan 
hakikat tersebut. Beberapa buku ajar matematika bahkan kerap menyajikan 
“pembuktian’ yang tak sahih. Misalnya, menuliskan kegiatan memotong 
sudut-sudut potongan segitiga kertas yang ditempelkan memembentuk sudut 
“nyaris” 180 derajat itu sebagai sebuah bukti. Ini tentu fatal, karena 
membuktikan pernyataan matematika berdasar fenomena alam. Sesungguhnya, 
kegiatan di atas hanya mengatakan dugaan: “mungkin jumlah ketiga sudut 
segitiga itu 180 derajat.” Tak lebih dari itu. Matematika bukan ilmu 
alam.
Geometri merupakan studi tentang objek
 yang tak dapat digambar atau gambarnya buruk. Artinya, inferensi atau 
kesimpulan yang dibuat tak boleh menggantungkan pada ketepatan gambar. 
Gambar tepat maupun buruk harus memberikan kesimpulan yang sama persis. 
Sebaliknya, jika segitiga kertas yang dibuat tadi sisinya tak lurus atau
 busur derajatnya buruk, jumlah sudut 180 derajat mungkin saja tak 
diperoleh.
Indra kita, misalnya penglihatan, 
sangat mudah tertipu ilusi. Dua garis sejajar yang diberi dekorasi 
khusus tertentu akan tampak tak sejajar. Dua garis yang sama panjang, 
tetapi ujungnya diberi gambar anak panah atau ekor panah akan tampak 
berbeda panjang. Ilusi penglihatan ini tak diinginkan terjadi di 
matematika. Oleh karenanya, argumen matematika tak boleh berdasar panca 
indra.
Matematika tak mempercayai panca 
indra, tetapi hanya mempercayai “indra” nalar deduktif. Bahkan, 
ekstremnya, seorang tuna netra pun tetap mampu “melihat” dengan jelas, 
meyakini, dan menikmati indahnya Dalil Pitagoras. Ini setali tiga uang 
dengan Beethoven yang dapat tetap dapat “mendengar” musik melalui 
“telinga” nalarnya, walaupun sudah tuna rungu.
Pernalaran manusia yang terekam dalam 
gagasan matematika dan juga partitur musik bersifat abadi. Seperti kata 
Einstein, nalar manusia yang mewujud menjadi persamaan atau kalimat 
matematika akan abadi. Dari torehan Archimedes sampai tulisan Ramanujan 
telah membangun peradaban kemanusiaan yang menembus batas ruang dan 
waktu. Nalar manusia yang mampu menggambarkan ruang dimensi 4, bahkan 
sampai meyakininya bahwa ruang berdimensi 4 itu senyata-nyatanya seperti
 kursi yang kita duduki.
Lalu apakah guru matematika SD, 
misalnya, harus memahami gagasan matematika seperti di atas? Tentu. 
Kemudian, apakah guru SD harus mampu membuktikan semua pernyataan di 
matematika SD serta menikmati proses pembuktiannya? Idealnya ya, namun 
jika memang belum mampu,guru dapat mengatakan, “Mari kita cari dan 
pelajari sama-sama.” Tidak tabu bagi seorang guru matematika untuk 
berkata belum tahu. Guru di jaman sekarang tak mungkin dapat menjawab 
semua pertanyaan. Dan juga, memang bukan tugas guru untuk menjawab semua
 pertanyaan.
Baiknya, guru bersama murid mencoba 
membuktikan sendiri, atau jika tetap tak berhasil, dapat mencarinya di 
Internet. Banyak bukti indah tersedia. Dari sudut pembelajaran 
matematika, diskusi tentang bukti-bukti indah itu akan memicu kasmaran 
bermatematika. Citra pembelajaran seperti ini jauh berbeda dari 
matematika prosedural, dogmatik, kaku, dan formalistik yang kerap 
dipertontonkan di pengajaran dan buku ajar sekolah hari ini.
Untuk itu, perlu ditingkatkan program 
perlatihan guru guna meremajakan gagasan matematika sebagai ilmu tak 
bermateri dan menciptakan kegiatan bagi guru agar mengalami kembali 
asyiknya membuktikan pernyataan matematika. Ini sejalan dengan 
angan-angan Tan Malaka di Madilog.
Guru perlu merasakan kembali kejujuran 
bahwa belum memahami dan juga keluguan mempertanyakan kesahihan Dalil 
Pitagoras sampai Ketaksamaan Segitiga. Ini tantangan perbaikan 
pembelajaran matematika yang belum pernah secara sungguh-sungguh 
diupayakan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya.
Iwan Pranoto  ;   Dosen dan Guru Besar Matematika ITB; 
Kini juga bekerja di KBRI New Delhi, India
SATU HARAPAN,  15 Desember 2014
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
 

 
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar