Penghematan Kurikulum 2013
Menteri
Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen), Anies
Baswedan, menghentikan Kurikulum 2013 dan memberlakukan kembali
Kurikulum 2006.
Banyak ketidakberesan pada awal
penerapan Kurikulum 2013. Persiapannya juga tidak matang dari sekolah
dan guru. Akibatnya, muncul disparitas antara pembuat kebijakan dan
pelaksana di lapangan.Penerapan Kurikulum
2013 juga sangat boros anggaran proyek pengadaan buku yang mencapai 5,9
triliun rupiah. Ini dibagi dua tahap. Tahap pertama, pengadaan buku
melibatkan 48 perusahaan senilai 3,5 triliun. Kedua, mengikutkan 31
perusahaan dengan anggaran 2,4 triliun.
Mestinya anggaran sebesar itu bisa
untuk membeli komputer tablet berisi konten pendidikan dan buku
elektronik. Tablet bisa dibagikan secara gratis kepada para siswa.
Penerapan Kurikulum 2013 mengandung ketidakberesan terkait pengadaan
buku dan biaya pelatihan guru yang terindikasi adanya penggelembungan
anggaran.
Sejak awal, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mengendusnya. Wajarlah KPK mendukung keputusan karena
sarat masalah dan realisasinya banyak yang tidak beres. KPK juga
menyatakan Kurikulum 2013 tidak beres dari segi fasilitas penunjang.
Sudah banyak anggaran terbuang sejak
Kurikulum 2013 diberlakukan. Kurikulum 2013 yang dirancang berbasis
aktivitas itu berimplikasi pada pembengkaan anggaran dan kantong orang
tua siswa. Salah satu pemborosan penggunaan buku cetak sekali pakai
setiap siswa yang berisi konten Kurikulum 2013 berbasis aktivitas siswa.
Ini menyuburkan kembali mafia
perdagangan buku sekolah. Esensinya juga tidak sesuai dengan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi. Apalagi belum disertai sistem
pengadaan yang baik dan bersih dari praktik korupsi.
Sejak awal, Kurikulum 2013 telah
terbelenggu berbagai persoalan klasik seperti disparitas mutu sekolah,
kekurangan infrastruktur, mutu guru, hingga dana BOS yang tidak efektif.
Belenggu tersebut semakin kuat karena modus korupsi di lingkungan
pendidikan makin subur.
Usaha pemerintahan Jokowi-JK untuk
membangkitkan generasi emas Indonesia tidak mudah. Harus ada usaha keras
melepas belenggu sistem pendidikan nasional. Dibutuhkan inisiatif jitu
guna menyelenggarakan pendidikan sesuai semangat zaman. Seluruh bangsa
di muka bumi saat ini tengah berusaha menyelenggarakan pendidikan
terbaik bagi rakyatnya.
Maklum, pendidikan menjadi kunci
kemajuan dan cara terbaik meningkatkan martabat. Masalahnya, apakah
usaha tersebut sudah sesuai dengan era sekarang. Dengan demikian,
penyelenggaraan pendidikan benar-benar berkualitas, murah, efektif,
mencerdaskan, dan dalam mengimplementasikan nilai-nilai.
Era kini sangat diwarnai fenomena
globalisasi dengan konvergensi teknologi informasi dan komputerisasi
(TIK). Kaum belia, seperti Sergey Brin dan Larry Page sang perintis
Google, semakin mewarnai era dengan berbagai karya visioner mereka.
Tidak bisa dimungkiri, The Search
(mesin pencari) telah merevolusi dunia, merombak pranata bisnis,
menyegarkan kebudayaan, serta mentransformasikan proses pendidikan
begitu cepat. Mesin-mesin pencari bergerak secepat kilat lalu menyajikan
berbagai informasi di depan mata.
Dia seperti menelan jutaan
perpustakaan, lalu “menyemburkan” ketika diminta. Google,
Yahoo,Wikipedia, dan lainlainnya begitu pemurah dan secara sukarela
mengunggah karya-karya warga dunia menjadi aset semesta.
Adaptasi
Di tengah kedahsyatan konvergensi TIK,
ada pertanyaan besar mengganjal. Bisakah sistem pendidikan negeri ini
adaptif dengan semangat zaman. Proses pendidikan mestinya tidak terjebak
dalam rutinitas dan formalitas belaka.
Harus ada terobosan inovatif, kreatif, dan transformatif sistem pembelajaran.
Dibutuhkan sistem pembelajaran
interaktif yang melibatkan konvergensi TIK secara optimal untuk
menunjang materi ajar, peraga, lembar kerja siswa, kegiatan
ekstrakurikuler, pengembangan profesi guru, dan standardisasi sekolah.
Berbagai terobosan pada waktunya akan
membangkitkan generasi emas. Indikasinya budaya atau komunitas
mengunggah ilmu pengetahuan makin subur terutama yang berbasis lokal.
Perlu strategi transformasi pendidikan nasional yang lebih berkeadilan,
murah, yang berbeda esensi dan praktiknya dengan sistem RSBI/SBI.
Sebenarnya, esensi dasar pembentukan
RSBI/SBI dulu adalah mentransformasi pembelajaran. Namun,
transformasinya semakin menampar rasa keadilan rakyat dan menyuburkan
liberalisme ekonomi pendidikan.
Hal itu merupakan paradoks, mengingat
ada arus besar dunia yang sangat menguntungkan segenap aktivitas
manusia, khusunya proses pendidikan, yakni pesatnya konvergensi TIK,
Open Innovation, Wikinomics dan meluasnya sosial media. Dengan arus itu,
mestinya transformasi bisa lebih murah.
Diperlukan visi membangun sistem yang
mendukung lingkungan pembelajaran generasi baru atau next generation
learning environment dengan memanfaatkan TIK. Tujuannya meningkatkan
kualitas pembelajaran dan administrasi.
Selain itu, juga demi intensitas
interaksi antara guru, siswa, orang tua, komunitas, dan sekolah yang
lebih efektif. Sosok guru yang inspiratif membutuhkan perangkat untuk
menunjang proses pengajaran serta meningkatan profesionalitas. Sangat
ironis, jika masih ada guru gagap TIK.
Padahal, kekuatan konvergensi TIK dan
kemampuan mesin pencari di internet telah merevolusi tata kelola
kebudayaan dunia. Di samping itu, transformasi proses pendidikan begitu
cepat. Mesin pencari juga sangat pemurah karena menyediakan sumber
informasi tak terbatas sebagai bahan baku berkreasi dan berinovasi.
Ada landasan filosofis kokoh untuk
transformasi Diknas, yakni sarana dengan program komputer tablet.
Implikasinya sangat berarti bagi bangsa, asal tidak terjebak dalam
pemborosan anggaran (korupsi).
Kebijakan dan langkah transformasi sarana pendidikan sebaiknya mewujudkan ekosistem C Generation (Conected Generation)
yang baik. Dengan demikian, anggaran pendidikan nasional bisa lebih
optimal sekaligus bisa menumbuhkan industri kreatif perangkat lunak dan
konten produk dalam negeri.
Transformasi tidak perlu bergantung
sepenuhnya pada vendor asing karena bisa memboroskan keuangan negara dan
mematikan kreativitas anak negeri. Program komputer tablet sebagai
sarana pendidikan sesuai dengan tren dunia. Skema pembiayaannya
sebaiknya secara gratis.
Alokasinya dari pengalihan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS ) yang selama ini tidak efektif. Proses
produksi perangkat keras komputer tablet bisa bekerja sama dengan BUMN,
swasta, atau perguruan tinggi. Sementara aplikasi perangkat lunak dan
konten bisa menggunakan hasil karya pengembang dalam negeri.
Hemat Dwi Nuryanto ; Lulusan UPS Toulouse, Prancis
KORAN JAKARTA, 15 Desember 2014
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar