Spiritualitas Pendidikan
 “Aku
 berpikir, maka aku ada.” Sejak Bapak Filsafat Modern Rene Descartes 
(1596-1650) mengemukakan ungkapan itu, “berpikir” menjadi begitu penting
 di dunia. Paradigma analitis logis Cartesian, paham yang didasarkan 
pada pandangan Descartes, dengan segera menggusur cara pandang holistik 
Ibnu Sina (980-1037) yang mendominasi global selama enam abad.
“Aku
 berpikir, maka aku ada.” Sejak Bapak Filsafat Modern Rene Descartes 
(1596-1650) mengemukakan ungkapan itu, “berpikir” menjadi begitu penting
 di dunia. Paradigma analitis logis Cartesian, paham yang didasarkan 
pada pandangan Descartes, dengan segera menggusur cara pandang holistik 
Ibnu Sina (980-1037) yang mendominasi global selama enam abad.
Dunia menyambut paradigma baru itu. 
Diperkuat oleh temuan Newton (1643-1727) tentang hukum gravitasi, paham 
Cartesian pun menguasai seluruh sendi kehidupan. Hasilnya, Barat melesat
 dalam peradaban dunia berbasis materialistik. Penjajahan dengan 
penjarahan pada bangsa lain di satu sisi, dan kemajuan ilmu pengetahuan 
dan teknologi di sisi lain menjadi kunci kemajuannya.Paham
 analitis logis Cartesian pun terus berkembang, termasuk ke dunia 
pendidikan. Taksonomi Bloom yang menjadi acuan penting pendidikan pun 
diterjemahkan secara Cartesian. Menurut Bloom, ranah pendidikan adalah 
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Implementasinya menjadi kognitif, 
kognitif, kognitif. “Berpikir, berpikir, berpikir.” Terutama di 
Indonesia.
Pilihan itu dapat dimengerti. Kognitif
 atau “berpikir” adalah ranah yang paling mudah diukur. Dianggap ilmiah 
hanya bila dapat diukur. Ujian nasional adalah produk cara pandang itu. 
Begitu pula kurikulum pendidikan selama ini. Menjejalkan pengetahuan 
lalu mengujinya dianggap sebagai hal semestinya dalam pendidikan. 
Dalihnya: “Pendidikan kan ranah ilmiah. Harus serbaterukur.”
Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara 
pernah mencoba melawan arus tersebut. Ia mengusung pendekatan holistik 
ketimuran. Ungkapan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut 
wuri handayani merupakan produk cara pandang itu. Kalangan pendidikan 
Indonesia mengapresiasi dan mengutip ucapannya, tapi diam-diam lebih 
mengadopsi paham Cartesian.
Alasannya sederhana. Kognitif, sekali 
lagi, paling mudah diukur. Selain itu, buku-buku teks Barat tersedia 
melimpah untuk dijadikan buku teks babon. Tak ada buku teks babon 
berbasis pemikiran Ki Hajar Dewantara. Pemerintah pun tak tertarik 
mengembangkannya, sebagaimana para universitas negeri (mantan IKIP) juga
 tak tertarik pendekatan kualitatif karena dianggap “kurang ilmiah”.
Dengan paradigma seperti itu, 
pendidikan nasional pun kering dan jauh dari efektif. Apalagi dengan 
administrasi birokrasi yang telanjur biasa bekerja dengan sistem ad hoc.
 Belum lagi penurunan kualitas SDM pendidikan setelah putra-putra 
terbaik bangsa lebih banyak diserap sektor lain. Sebagian besar mereka 
hanya mampu mengajar. Bukan mendidik. Itu pun secara pas-pasan.
Maka, pendidikan nasional pun terus 
mengajarkan pengetahuan atau “berpikir”. Bukan mendidik. Hal yang 
diharapkan membuat siswa cerdas, tapi membuat hasil sebaliknya. Menurut 
penilaian program internasional PISA, daya nalar siswa Indonesia 
termasuk terendah dibanding bangsa lain. Wajar bila Menteri Anies 
Baswedan menyebut dunia pendidikan Indonesia sudah gawat darurat.
Menekankan “berpikir” terbukti tak 
membuat siswa pandai berpikir. Sebaliknya malah membuat mereka tidak 
cakap hidup. Agar berkecakapan hidup, siswa perlu pendidikan yang 
dislogankan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri. Yakni 
pendidikan berupa “olah hati, olah pikir, olah raga (olah 
fisikal-mental), serta olah rasa dan karsa (olah emosi-sosial)”.
Sayangnya, empat “olah” itu juga tak 
menjadi buku teks babon pendidikan. Jadilah olah pikir lagi, olah pikir 
lagi. Polemik kurikulum sekarang merupakan produk budaya olah pikir itu.
 Kecenderungan yang hendak dipatahkan dengan Kurikulum 2013, dan 
ternyata gagal. Selain karena kurikulum—hasil kerja ad hoc—Itu tak cukup
 memadai, juga karena paham olah pikir masih begitu dominan.
Kini saatnya mengubah pendidikan yang 
menekankan “berpikir”. Kini saatnya untuk membangun pendidikan yang 
sungguh-sungguh memberdayakan. Untuk itu spiritualitas pendidikan 
diperlukan. Dengan spiritualitas pendidikan, aspek kultural-spiritual 
dikedepankan. Keteladanan dan pembiasaan pun didahulukan dibanding 
pengajaran. Pengajar perlu ditransformasi menjadi pendidik.
Dengan spiritualitas pendidikan, olah 
hati menjadi yang pertama. Baru kemudian diikuti dengan olah pikir, olah
 raga, serta olah rasa dan karsa. Bukan lagi “mengajari”, melainkan 
“menyayangi” yang menjadi kata kuncinya. Bukan lagi kuantitatif 
melainkan kualitatif yang menjadi alat ukurnya. Itu yang akan membuat 
siswa berdaya. Terutama setelah cara pandang “aku berpikir, maka aku 
ada” tergantikan oleh “aku sayang, maka aku ada”.
Zaim Uchrowi  ;   Guru Karakter dan Transformasi KULTURA Leadership
REPUBLIKA,  15 Desember 2014
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
 

 
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar