Noktah-noktah Kurikulum 2013
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) beberapa bulan terakhir ini
terus-menerus mengalami prahara. Berbagai kebijakannya senantiasa
dikritik dan digugat banyak pihak. Hujatan atas pelaksanaan program
yang amburadul, bahkan berbagai kebijakannya diduga sarat kepentingan
proyek dan disinyalir berbau korupsi. Misalnya saja, kebijakan Ujian
Nasional dan Kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 terkesan kuat
dipaksakan untuk diberlakukan mulai 15 Juli 2013 ini. Dokumen Kurikulum
sampai detik ini tidak dapat diakses publik melalui website Kemendikbud.
Beberapa anggota Panja Kurikulum 2013 DPR sempat mengeluh kepada saya
betapa sulitnya mendapatkan dokumen tersebut.
Para pendidik pun kebingungan
karena gagasan inti dalam rancangan Kurikulum 2013 belum tersampaikan
dengan lugas, bahkan dalam beberapa hal justru menunjukkan keraguan.
Sejumlah guru di Jakarta misalnya, masih belum tahu persis apakah
kurikulum ini jadi dilaksanakan tidak. Sosialisasi hanya kepada kepala
sekolah yang belum turun secara memadai kepada mereka.
Sosialisasi Kurikulum 2013
hanya berisi jargon-jargon yang disampaikan melalui powerpoint, tidak
bicara pada tataran yang lebih teknis yang dibutuhkan para guru. Iklan
sosialisasi Kurikulum 2013 di televisi melibatkan banyak tokoh
berpengaruh seperti Goenawan Mohamad maupun Anies Baswedan, mengesankan
bahwa Kurikulum ini mendapat dukungan dari banyak kalangan. Ada kesan
kuat dari Kemendikbud butuh legitimasi kuat dari tokoh-tokoh tersebut
supaya dapat diterima oleh publik. Ironinya, iklan itu kurang
menyosialisasikan apa dan bagaimana Kurikulum itu sendiri.
Para pejabat Kemendikbud
dengan penuh rasa percaya diri mengatakan bahwa Kurikulum 2013 hanya
meliputi 5% di SD dan 7% di SMP sebagai penerapan, bukan ujicoba.
Bagaimana mungkin tidak dibilang ujicoba, mengingat kenyataannya telah
terjadi pengurangan yang begitu drastis, dari semula 102.000 sekolah
menjadi hanya 6.400an; dari semula 20 juta siswa menjadi hanya 1.6 juta
siswa. Pelatihan guru yang semula 40.000 master teacher menjadi hanya
5.000an, dan dari target pelatihan guru 366 ribuan guru menjadi hanya 50
ribu guru.
Pertanyaan sederhana, mengapa
para elit di Kemendikbud masih menganggap ini bukan sampel? Kenapa harus
malu dengan ujicoba dan tetap ngotot dengan penerapan? Penolakan
terhadap Kurikulum 2013 bertubi-tubi datang dari masyarakat, dan bukan
tanpa argumentasi logis. Penolakan dilakukan oleh berbagai institusi dan
elemen masyarakat, termasuk para guru melalui organisasi-organisasi
guru.
Dasar penolakan sejumlah
elemen masyarakat dan para guru, dapat diidentifikasi, yaitu pertama,
Kurikulum 2013 dilaksanakan tanpa ujicoba. Sebelum diimplementasikan,
rancangan sebuah kurikulum perlu diuji dan disosialisasikan secara
terbuka di forum akademik dengan melibatkan pihak-pihak lain yang
memiliki kompetensi serta kapasitas menilai, termasuk di dalamnya adalah
kelompok masyarakat pelaku pendidikan.
Forum terbuka amat penting
bertujuan menampung pemikiran yang komprehensif dan membangun pemahaman
bersama hingga mengundang komitmen semua komponen masyarakat, khususnya
yang akan terlibat langsung di dalam implementasi.
Alasan kedua, ketidaksiapan
guru dan sekolah. Rancangan Kurikulum 2013 mengambil konsep
integratif-tematik yang menunjukkan terdapatnya perubahan mendasar pada
struktur kurikulum hingga pola penugasan guru, setidaknya, sejumlah mata
pelajaran akan diintegrasikan menjadi satu mata pelajaran. Konsep ini
membutuhan guru yang menguasai sejumlah mata pelajaran (yang
digabungkan) serta mumpuni dalam mengajar berbasiskan pada tematik (yang
telah ditentukan), yang merujuk pada lingkungan sekolah.
Untuk terlaksananya konsep
ini, pengetahuan dan kapasitas guru saat ini cukup jauh untuk memenuhi
kebutuhannya. Sementara itu, akan adanya permasalahan pada tidak sedikit
jumlah guru dengan “kompetensi” mata pelajaran yang dikeluarkan dari
dalam struktur Kurikulum 2013.
Ketiga, ketidaksiapan materi
pelatihan, buku guru, pelatih untuk pelatihan guru dan waktu pelatihan
yang semakin diperpendek. Hingga limit waktu penerapan yang menyisakan
waktu sekitar kurang dari dua bulan, buku babon untuk guru dan buku
siswa belum selesai dibuat, bahkan belum dicetak.
Jika kurikulum harus
dilaksanakan pada 15 Juli 2013, maka pelatihan guru harus segera
dilaksanakan Mei, namun karena anggaran baru disetujui DPR pada 27 Mei
2013 dan buku babon belum dicetak tentu saja tak mungkin melakukan
pelatihan guru. Buku babon dan buku siswa belum selesai dibuat, tender
harus diulang, belum lagi distribusi buku juga membutuhkan waktu dan
proses yang tidak singkat, jadi ketidaksiapan materi tentu membuat
Kurikulum 2013 ini layu sebelum berkembang.
Keempat, buku-buku untuk siswa
juga belum siap dan yang sudah siap cetak belum pernah diuji publik.
Kurikulum 2013 belum layak untuk dilaksanakan pada tahun ajaran
2013/2014. Diperlukan kematangan konsep dan rancangan, serta kesiapan
guru yang akan berperan sebagai ujung tombak implementasi dari Kurikulum
2013.Guru dan rendahnya mutu guru di Indonesia yang tidak siap
mengimplementasikan Kurikulum 2013, karena di lapangan kami mendapatkan
fakta bahwa guru belum mengerti dan memahami Kurikulum 2013, sedangkan
waktu untuk rencana implementasi sangat pendek. Saya menyakini bahwa
waktu kurang dari dua bulan tidak realistis untuk melaksanakan Kurikulum
baru.
Penundaan pemberlakukan
Kurikulum 2013 menjadi keniscayaan jika hal-hal di atas belum bisa
dilaksanakan. Menunda guna melakukan dengan segera persiapan yang lebih
baik adalah jauh lebih berarti ketimbang kehilangan kesempatan merebut
peluang emas sebagai akibat menerapkan langkah-langkah pendidikan yang
belum dipersiapkan dengan amat baik.
Dengan sejumlah keberatan di
atas, sejumlah elemen masyarakat dan para guru melakukan upaya-upaya
lobi secara politik ke Komisi X DPR yang membawahi masalah Pendidikan.
Penolakan secara politis sesungguhnya dapat dilakukan DPR dengan menolak
anggaran Kurikulum 2013. Sayangnya, hanya ada dua fraksi yang menolak,
yakni Fraksi PPP dan PKS. Sedangkan FPAN sendiri mengusulkan Kurikulum
2013 hanya ujicoba. Fraksi lainnya menyetujui penerapan Kurikulum 2013.
Pihak Kemendikbud bersikap
anti kritik dan menganggap bahwa para penentang sebagai pihak yang tak
paham. Sikap ini berbeda dengan Pemerintah Singapura dan Inggris yang
saat ini sedang melakukan perubahan kurikulum juga. Pemerintah dua
negara ini melakukan ujicoba terlebih dahulu selama dua tahun sebelum
menerapkan kurikulum barunya. Dokumen kurikulumnya pun dapat diakses
publik dengan mudah, bahkan dibuka perdebatan.
Politik Pendidikan dengan Pendekatan Kekuasaan
Pro dan kontra perubahan
Kurikulum 2013 ini membuat para guru tidak memiliki visi jelas dalam
mengajar karena para guru merasa dijadikan obyek kebijakan pemerintah
yang tidak memahami dunia pendidikan. Para guru tidak pernah dilibatkan
sejak awal dalam perubahan Kurikulum. Sudah biasa terjadi di negeri ini
dalam setiap kebijakan, guru tetap menjadi obyek penderita dan dijadikan
tumbal cara berpikir yang tidak logis.
Salah satu keberatan para guru
terhadap Kurikulum 2013 adalah dihapuskannya beberapa mata pelajaran,
diganti dan dikurangi jumlah jam ajarnya tanpa dasar pijakan maupun
alasan yang logis. Apakah mungkin penghapusan, perubahan dan pengurangan
mata pelajaran tersebut akan berdampak pada meningkatkannya kualitas
pendidikan?
Hilangnya beberapa mata
pelajaran dalam Kurikulum 2013 mengakibatkan hilangnya kesempatan
berkarir bagi sebagian guru. Para guru yang mata pelajarannya dihapus
dari kurikulum akan dialihkan mengajar mata pelajaran lain yang tidak
sesuai dengan ijasah dan bidang studi yang diampu. Guru yang
bersangkutan juga akan kehilangan tunjangan sertikasinya meskipun
mengajar 24 jam, karena ketentuan yang berlaku selama ini mengenai
tunjangan sertifikasi diperuntukkan bagi guru yang mengajar sesuai
bidang studi yang disertifikasi.
Mengajar bidang yang sesuai
dengan ijasahnya saja hasil belajarnya masih rendah secara kualitas
(baca: merujuk hasil UKG), apalagi jika mengajar mata pelajaran yang
bukan bidangnya. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
Beberapa mata pelajaran yang
dihilangkan atau dihapus dalam Kurikulum 2013 diantaranya adalah: mata
pelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD) yang semula masuk dalam
muatan lokal, dalam Kurikulum 2013 dihapus. Itu berarti guru-guru
pelajaran Bahasa Inggris di jenjang SD kehilangan pekerjaan, karena
mayoritas guru Bahasa Inggris di SD bukan guru Pegawai Negeri Sipil
(PNS).
Mata pelajaran muatan lokal
dihapus di semua jenjang pendidikan, SD, SMP dan SMA/SMK. Mata pelajaran
Tekonologi Informasi dan Komputer (TIK) dihapus pada jenjang SMP dan
SMA, berarti para guru TIK di SMP/SMA akan kehilangan pekerjaan dan bagi
yang PNS akan kehilangan kesempatan berkarir.
Mata pelajaran bahasa asing
lainnya di SMA hanya ada di peminatan bahasa, hal ini akan menimbulkan
PHK besar-besaran karena hanya sedikit siswa yang memilih peminatan
bahasa, umumnya para siswa memilih peminatan IPA atau IPS. Mata
pelajaran IPA dan IPS di SMK dihapuskan, sehingga para guru IPA dan IPS
di SMK harus mutasi ke SMA, padahal di SMA juga terjadi kelebihan guru
IPA dan IPS.
Tidak dihapus mata
pelajarannya tetapi diganti bidang studinya yang “dianggap” mirip
(padahal berbeda) oleh si perancang Kurikulum 2013, yaitu mata pelajaran
Tata Busana dan Tata Boga di SMP yang diganti dengan pelajaran
“Prakarya”. Sedangkan di jenjang SMA pelajaran Ekonomi pada mata
pelajaran wajib (bukan peminatan), diganti “Kewirausahaan”. Esensi mata
pelajaran tata busana dan tata boga tentu saja sangat berbeda dengan
Prakarya.
Demikian juga mata pelajaran
ekonomi yang rasanya esensi pembelajarannya berbeda dengan
kewirausahaan. Kewirausahaan merupakan bagian dari ilmu ekonomi,
sehingga perubahan mata pelajaran ini dapat dianggap mereduksi
pembelajaran ekonomi itu sendiri. Apalagi jika mengingat bahwa jiwa
kewirausahaan belum tentu dimiliki oleh kebanyakan guru ekonomi kita
selama ini.
Berkurangnya jam belajar di
Bahasa Inggris di SMP yang semula 120 menit dan 180 menit di SMA
menjadi hanya 80 menit dan 90 menit akan mengakibatkan para guru Bahasa
Inggris di SMP dan SMA akan berebut jam mengajar. Lagi pula kebijakan
ini tidak sejalan dengan gembar-gembornya Kemendikbud mengenai
persaingan dalam era global, dimana diperlukan salah satunya adalah
penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
Selain para guru yang sudah
mengajar bidang studinya selama bertahun-tahun akan kehilangan
kesempatan berkarir dan mengembangkan ilmunya, maka dampak ini juga akan
menimpa para mahasiswa yang saat ini sedang menempuh studinya di LPTK
(Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan). Mahasiswa yang sedang menempuh
studi di jurusan seperti: TIK, pendidikan Bahasa Inggris dan pendidikan
bahasa asing lainnya (Jepang, Jerman, Perancis, Mandarin, Arab)
peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai guru menjadi makin
sempit, bahkan bisa dikatakan hilang sama sekali.
Semua dampak ini tidak pernah
disampaikan ke para guru ketika pemerintah melaksanakan sosialisasi
Kurikulum 2013. Para guru banyak yang belum mengetahui semua dampak ini.
Ketika saya menuliskan dampak penerapan ini bagi para guru yang bidang
studinya dihapus atau diganti di sosial media, barulah para guru
merespon dengan terkaget-kaget. Mereka tak menyangka, karena ketika
sosialisasi yang mereka ingat betul adalah bahwa “para guru tidak akan
direpotkan membuat silabus dan perangkat mengajar lainnya”.
Kalau selama ini guru tidak mampu
membuat perangkat mengajar, yang seharusnya dilakukan Pemerintah adalah
melatih dan mengajari guru untuk bisa, bukan dibuatkan. Pemerintah tidak
mempunyai kehendak memperbaiki kualitas guru, tetapi justru
mengorbankan guru. Guru tidak bisa dipaksa mengajar yang bukan
bidangnya. Ketika pemaksaan kehendak seperti ini terjadi maka
sesungguhnya penguasa sudah kehilangan keadaban publiknya.
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar