Kita Tidak Butuh Sekolah, Apalagi Kurikulum..
”Every
country on earth is now reforming its public education. The problem is
they are doing it by doing what they have done in the past.” (Sir Ken Robinson, 2010)
![nokur](http://widiyanto.com/wp-content/uploads/2014/12/nokur.jpg)
Wacana ganti menteri ganti kurikulum
selama puluhan tahun ini dipijakkan pada paradigma sekolah: Memperbaiki
kurikulum adalah memperbaiki sekolah, dan memperbaiki sekolah adalah
memperbaiki pendidikan. Padahal, belajar sebagai inti dari pendidikan
sebenarnya tidak membutuhkan sekolah.
Kurikulum adalah bagian dari paradigma
sekolah yang merupakan produk zaman revolusi industri pada abad ke-17.
Untuk memenangkan masa depan pada abad ke-21, anak-anak Indonesia tidak
mungkin disiapkan dengan cara-cara lama dengan mentalitas production lines, batch processes, dan standardisasi ini.
Untuk meningkatkan akses pada
pendidikan, kita justru perlu membebaskan masyarakat dari monopoli
pendidikan oleh sekolah dan mendesentralisasikan pendidikan ke daerah,
bahkan ke satuan pendidikan yang terkecil, yaitu keluarga. Pendidikan
universal tidak mungkin dicapai melalui persekolahan. Begitu pendidikan
disamakan dengan persekolahan, pendidikan menjadi barang langka by definition. Yang perlu dikembangkan adalah jejaring belajar (learning webs) dengan akses dan kurikulum yang lentur, luwes, serta informal sesuai dengan bakat dan minat warga. Itu akan lebih cost-effective daripada persekolahan.
Dengan internet, belajar semakin tidak
membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum. Membentuk karakter pun hanya
bisa dilakukan secara efektif dengan praktik di luar sekolah. Selama
beberapa dekade terakhir ini terlihat bahwa semakin banyak sekolah tidak
menjadikan masyarakat kita makin terdidik. Hasil sigi internasional
terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga menunjukkan murid
Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan
membacanya juga tertinggal bila dibandingkan dengan teman-teman
sebayanya.
Kurikulum adalah serangkaian hasil
belajar yang diharapkan dan seluruh proses yang menghasilkan pengalaman
belajar serta mekanisme evaluasi hasil belajar murid di bawah panduan
guru di sekolah. Jadi, kurikulum adalah atribut penting sistem
persekolahan. Siapa yang membutuhkan kurikulum? Sekolah, yayasan
pengelola sekolah, guru yang bekerja di sekolah, dinas pendidikan,
Kemendikbud, para ahli kurikulum, dan penerbit yang mau mencetak buku
wajib yang akan dipakai di sekolah. Asumsi dasar pada setiap penyusunan
kurikulum adalah anak akan mencapai prestasi belajar maksimal jika
melalui serangkaian instruksi dan lingkungan buatan serta mekanisme
evaluasi yang terstruktur dan terencana. Asumsi itu meremehkan
kecanggihan manusia beserta semua perangkat belajarnya yang telah
diciptakan Tuhan sebagai ciptaan terbaik. Manusia bisa belajar dalam
situasi apa pun, bahkan dalam situasi yang paling getir sekalipun.
Bahkan, manusia belajar jauh lebih banyak daripada pengalamannya di luar
sekolah.
Murid sebenarnya tidak membutuhkan
kurikulum resmi yang kaku dan terpusat. Bahkan, anak yang cerdas
sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Susi Pudjiastuti yang sekarang
menteri kelautan dan perikanan adalah contohnya. Kebanyakan anak kita
sebenarnya cerdas. Di banyak sekolah kecerdasan mereka sering diremehkan
proses belajar yang tidak menantang yang disajikan guru yang tidak
kompeten. Kecerdasan mereka pun sering diukur oleh instrumen yang tidak
cocok seperti tes pilihan ganda. Puncak penghinaan atas kecerdasan itu
adalah ujian nasional yang dibantu mesin pemindai yang ikut-ikutan
menentukan kelulusan mereka. Karena proses yang salah itu, kecerdasan
anak-anak tersebut justru menurun dan mereka justru kehilangan jati diri
dan percaya diri.
Sesungguhnya hanya anak yang malas dan berkebutuhan khusus yang memerlukan kurikulum yang ”well-designed”
oleh para teknokrat ahli. Anak-anak normal tidak membutuhkannya. Dengan
bermain di ruang terbuka dan di alam, anak-anak belajar jauh lebih
banyak daripada di kelas yang sempit di sebuah tempat yang kita sebut
sekolah. Neurosains menemukan bahwa ruang kelas adalah tempat paling
buruk bagi proses belajar. Bekal terpenting bagi anak-anak normal itu
adalah akhlak yang baik, kegemaran membaca, keterampilan menulis,
berhitung, berbicara, dan kesempatan praktik yang memadai bagi
keterampilan-keterampilan untuk hidup secara produktif.
Kurikulum hanyalah resep makan siang,
bahkan bukan makan siangnya. Kesehatan juga ditentukan oleh sarapan dan
makan malam di rumah. Kurikulum tidak perlu gonta-ganti. Ini kegemaran
teknokrat-birokrat. Mahal sekali. Kurikulum sederhana, generik, dan
lentur mendorong guru melakukan adaptasi ruang dan waktu. Pribadi murid
pun justru lebih baik. Sekolah hanya warung waralaba yang berusaha keras
mengganti sarapan dengan makan siang cepat saji ala Jakarta. Kita juga
sudah kecanduan sekolah sehingga tidak mampu membayangkan dunia tanpa
sekolah. Padahal, masyarakat tanpa sekolah itu ada dan pernah ada dengan
kualitas kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebuah schooled society yang dengan congkak kita sebut modern ini.
Untuk memastikan pendidikan universal
bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang diperlukan bukan pembesaran
sistem persekolahan. Yang diperlukan adalah pengembangan sebuah jejaring
belajar (learning webs) yang lentur, luwes, lebih nonformal,
bahkan informal. Sekolah hanya salah satu simpul dalam jejaring belajar
tersebut. Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit,
perpustakaan kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil, dan masjid
dapat menjadi simpul-simpul belajar. Simpul belajar yang pertama dan
utama adalah keluarga di rumah.
Formalisme kronis persekolahan harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh Illich, itu disebut deschooling. Saat ini di Indonesia schoolism
sudah masuk tingkat yang berbahaya. Ijazah dipuja sebagai bukti
kompetensi seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti
bahwa memang masyarakat kita sudah kecanduan sekolah. Hanya yang tidak
percaya diri yang butuh sekolah. Belajar secara mandiri di rumah bisa
jauh lebih baik. Jadi, tanpa Kurikulum 2013, sekolah akan baik-baik saja
karena tanpa sekolah pun kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh
mulai khawatir kalau kita tidak belajar.
Daniel Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
JAWA POS, 08 Desember 2014
JAWA POS, 08 Desember 2014
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar