Menyediakan Guru Bermutu
![gurumutu](http://widiyanto.com/wp-content/uploads/2014/12/gurumutu.jpg)
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memiliki perhatian serius soal
ketersediaan guru bermutu. Dengan program Indonesia Mengajar, Anies
merekrut para sarjana unggul untuk menjadi guru di daerah tertinggal,
terpencil, dan terluar.
Dari cara merekrut guru dan daerah
penempatannya, tampaklah tekanannya pada mutu guru dan nasionalisme.
Dengan sedikit retorika heroisme, berdatanganlah para sarjana mumpuni
dan idealis mendaftarkan diri. Apakah Anies bisa mewujudkan ketersediaan
guru bermutu seperti program Indonesia Mengajar ?Dalam
perekrutan guru Indonesia Mengajar, kesempatan terbuka bagi semua
sarjana sehingga leluasa memilih calon yang bermutu. Ini berbeda dengan
perekrutan guru di bawah kementerian di mana regulasi menentukan bahwa
pelamar harus sarjana bersertifikat guru. Padahal, tidak semua sarjana
hebat memiliki sertifikat keguruan.
Tanpa mengubah peraturan, Anies akan
kembali terjebak pada sistem perekrutan lama yang terbukti kurang
melahirkan guru-guru bermutu tinggi. Apalagi, perekrutan guru di
pendidikan dasar dan menengah sekarang menjadi hak pemerintah daerah,
bukan pemerintah pusat, sehingga keinginan mendapatkan guru bermutu
semakin jauh.
Setelah perekrutan calon guru tertutup
untuk para sarjana bukan keluaran lembaga pendidikan tenaga keguruan
(LPTK), hingga kini pelajar bermutu tamatan SMA belum juga berminat
melamar kuliah ke LPTK. Ini membuat LPTK masih mendapat calon mahasiswa
dari pelajar lapisan bawah. Maka, harapan tinggal pada mutu LPTK.
Sebagai guru yang sudah 23 tahun
mengajar, hampir setiap tahun saya dan teman-teman guru mendapat
mahasiswa calon guru yang praktik kerja lapangan (PKL) dari sejumlah
LPTK. Tugas mereka belajar dari kami tentang bagaimana mengajar dan
menulis laporan/skripsi. Hasil penilaian kami menjadi bahan pertimbangan
LPTK menentukan kelulusan mahasiswanya.
Pola belajar seperti ini menunjukkan
LPTK-LPTK yang ada tidak yakin akan proses yang berlangsung di kampus
sehingga masih membutuhkan pengajaran, peniruan, dan penilaian kami.
Jika selama ini kita mengakui bahwa mutu pendidikan kita buruk, mutu
lulusan buruk, dan mutu guru buruk, pola PKL itu bisa dikatakan gagal
karena hanya menduplikasi dan mereproduksi guru-guru yang bermutu rendah
juga.
Persoalan baru yang dihadapi sekarang
adalah realitas terpisahnya pendidikan tinggi dan riset sehingga
pembenahan LPTK agar link-match dengan kondisi mutu guru menjadi
persoalan tersendiri.
Meningkatkan mutu
Bagaimana sebaiknya meningkatkan mutu?
Selain memperbaiki pola perekrutan dan meningkatkan mutu LPTK, realitas
guru yang berkualitas rendah pun perlu dibenahi. Jangan lagi terjebak
pada pola-pola lama yang mewajibkan guru kuliah lagi untuk mengambil S-1
dan mengikuti penataran/workshop/diklat.
Pola kuliah S-1 tidak efektif karena
orang dengan status guru merasa sudah nyaman dapat pekerjaan dan gaji.
Kalaupun mau kuliah lagi, etos belajar biasanya sudah menyimpang dari
semula berupaya meningkatkan kualitas diri menjadi sekadar meningkatkan
jumlah ijazah dan gelar. Akibatnya, guru akan memilih kuliah di LPTK
kelas rendah yang mudah meluluskan.
Sekarang, jumlah guru berijazah
sarjana lebih banyak dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi mutu
pendidikan tetap saja buruk. Ini berarti peningkatan jumlah guru yang
sarjana tidak otomatis menambah mutu guru.
Mendikbud sebaiknya juga tidak
terjebak pada pengadaan penataran, diklat, dan workshop bagi para guru
seperti yang selama ini dilakukan. Kenyataannya, efektivitas intervensi
ini masih kurang. Maka, pilihan maksimal adalah bermain di wilayah
pembenahan mutu penataran, diklat, workshop, metode, narasumber,
kurikulum, dan kriteria pesertanya.
Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa
dilakukan. Pertama, menciptakan kondisi kesejahteraan dan suasana kerja
guru yang menyenangkan sehingga bisa menarik perhatian lulusan terbaik
SMA untuk mau masuk ke LPTK dan kemudian menjadi guru. Ini membutuhkan
riset khusus ke arah persepsi siswa SMA terhadap profesi guru. Kebijakan
yang harus diambil adalah menciptakan imaji positif tentang guru di
mata para pelajar SMA.
Kedua, bekerja sama dengan LPTK agar
bisa memperbaiki mutu mereka, termasuk mereka harus percaya diri dengan
tidak lagi mengirim mahasiswa PKL belajar dari kami. Mahasiswa LPTK
harus tampil percaya diri dengan membawa metode-metode pedagogi paling
mutakhir. Ini berarti mahasiswa LPTK itu datang bukan belajar dari kami,
tapi kamilah yang harus mengadopsi metode terbaru dari mereka untuk
merevisi metode lama yang gagal memperbaiki mutu lulusan.
Ketiga, perekrutan calon guru harus
terbuka untuk semua sarjana. Sarjana nonsertifikasi keguruan yang lulus
seleksi diwajibkan mengikuti program Akta IV ke LPTK yang tertunjuk.
Selama masih kuliah di LPTK pun mereka tidak otomatis menjadi guru! Jika
prestasinya tidak memadai, mereka tidak jadi diangkat menjadi guru.
Sarjana yang lulus dan memiliki sertifikat keguruan boleh langsung
mengajar.
Keempat, reformasi sistem penataran,
diklat, dan workshop setelah melakukan kajian kritis atas penataran,
diklat, dan workshop selama ini.
Kelima, bagi guru yang sudah tidak mungkin bisa berkembang lewat penataran, diklat, dan workshop perlu dilakukan pensiun dini.
Keenam, perekrutan guru tidak lagi di
tangan pemerintah daerah, tetapi di tangan Kemdikbud supaya tidak bias
kepentingan politik pilkada.
Rosalia Wiwiek Wahyuning Ratri ; Guru SMP Negeri 1 Patuk,
Gunung Kidul, DI Yogyakarta
KOMPAS, 09 Desember 2014
Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar