Masyarakat tanpa Sekolah
7.
Ibu berhadas besar. Yang ibu lakukan untuk bersuci adalah: a. Wudu b.
Mandi keramas c. Cuci kaki 8. Najis mutawsittah disebut juga dengan: …
dan seterusnya (tidak saya lanjutkan).
Soal ujian pilihan berganda itu
ditunjukkan oleh seorang ibu kepada saya. Saya pikir tadinya ini
soal-soal ulangan kelas II SMP, tetapi belief it or not, anak sulung ibu
itu baru kelas 1 SD dan dia tinggal di Bekasi. Jadi itu adalah materi
ulangan murid kelas 1 SD di Bekasi (nama SD-nya off the record).Kata
ibu itu, ”Ini soal UAS anak saya, Prof.” Yang mencengangkan adalah
bahwa soal-soal seperti itu diberikan ke siswa kelas 1 SD yang menurut
psikolog J Piaget, perkembangan kognisi anak secara umum belum sampai ke
taraf harus bisa membaca. Pada tahapan umur 6-7 tahun anak baru bisa
mulai diajari membaca. Dulu saya sediri baru belajar membaca di kelas 1
SR (sekolah rakyat, setara SD sekarang), ”Be…u… bu…ka… u…ku… buku!
Horeee….”
Sebelumnya, di TK saya main melulu,
menggambar, bernyanyi, dan menari; kalau udah kebelet, ”Bu Guru, mau
pipis….” Tapi yang paling salah menurut Piaget (psikolog dari Swiss,
1896-1980) adalah anak seumur itu diajari konsep-konsep yang abstrak,
yang sudah pasti dia tidak akan bisa mengerti. Apa itu ”hadas besar”?
Ibu gurunya mungkin tahu bahwa arti kata itu adalah ”ibu dan bapak habis
gituan ”, tetapi mana anak tahu dan bagaimana cara ngasih tahunya?
Apa hubungannya dengan wudu, keramas,
atau cuci kaki? Apa pula artinya ”bersuci” dan ”mutawsittah ”? Saya saja
bingung, apalagi buat anak. Tapi anak dipaksa saja untuk menghafal,
ngerti tidak ngerti hafalkan. Kalau hafal dan nyontreng jawaban yang
benar, ”Itu sudah,” kata orang Ambon.
Menteri Diknas Anis Baswedan
menengarai bahwa sekolah-sekolah negeri makin lama makin bergeser ke
agama tertentu saja. Penelitian Prof Dr Bambang Pranowo (UIN Jakarta,
2011) mengungkapkan data bahwa sudah ada sejumlah siswa yang
anti-Pancasila dan prokekerasan terhadap agama lain di SLTA negeri
se-Jabodetabek.
Di wilayah-wilayah yang mayoritas
muslim, ”iklim” sekolah mulai tidak nyaman untuk murid-murid dan orang
tua yang nonmuslim. Karena itu Menteri Agama menggagas doa umum untuk
sekolah-sekolah negeri (bukan sekolah khusus agama tertentu) yang bisa
diikuti semua murid lintas agama atau kalau mau dilaksanakan doa dengan
cara agama tertentu, murid-murid yang berkeyakinan lain, diizinkan untuk
tidak ikut berdoa.
Tapi, seperti sudah diduga, wawasan
Menteri Anis Baswedan yang muslim dan golkar (golongan keturunan Arab)
ini serta-merta menuai kritik dan protes. Demikian juga tentang UN
(ujian nasional) di masa Mendikbud Muh Nuh yang penuh kontroversi.
Pokoknya banyak yang tidak setuju, di sampingadayangsetujuataubahkan
sangat setuju. Jadi memang menyeragamkan pendidikan itu sangat sulit.
Itubarutarafnasional, apalagi taraf internasional.
Pada tahun 1971, seorang pastor
Katolik keturunan Austria, Ivan Illich, menerbitkan sebuah buku yang
sangat fenomenal berjudul Deschooling Society. Dalam buku itu ia
mengatakan bahwa menyeragamkan pendidikan sangat tidak mungkin. Setiap
komunitas di Eropa mempunyai budaya dan kebiasaan masing-masing. Bahkan
setiap individu punya bakat dan minat sendiri-sendiri.
Penyeragaman berarti pelembagaan.
Pelembagaan pendidikan dan pranatapranata masyarakat berarti pemaksaan
dan setiap pemaksaan merupakan potensi atau sumber konflik. Hal itulah
yang sekarang ini (tahun 2014) sedang terjadi di seluruh dunia! Sebuah
sistem pendidikan yang baik, menurut Inkelles, harus punya tiga tujuan:
(1) memungkinkan semua orang yang
ingin belajar untuk bisa mengakses sumber-sumber pelajaran setiap saat
sepanjang umurnya, (2) mendorong setiap orang yang punya pengetahuan dan
keahlian untuk berbagi dengan setiap orang lain yang membutuhkan
pengetahuan dan keahliannya itu, dan (3) menyediakan sarana bagi setiap
orang yang punya wawasan, temuan, atau kritikan tentang hal-hal tertentu
untuk menyajikannya kepada publik, agar setiap orang bisa membahasnya
secara terbuka.
Jawaban terhadap masalah ini, kata
Illich, adalah website melalui jaringan internet. Di tahun 1972-1973,
ketika bersekolah di Universitas Edinburgh, Inggris, saya masih buta
komputer, apalagi internet. Bahkan sebagian pembaca, belum ada di dunia
ketika itu. Tapi Illich sudah bicara tentang internet pada tahun 1971,
ketika Jokowi masih berusia 10 tahun, masih SD, dan suka berenang di
kali di belakang rumahnya di Solo.
Apa yang diramalkan Illich sudah jadi
realitas sekarang. Bukan lagi hanya di AS atau Eropa, tetapi juga di
Indonesia, di era Jokowi sudah jadi presiden. Masyarakat Indonesia
adalah salah satu pengguna internet terbesar di dunia, puluhan provider
internet melayani sektor dunia maya ini, pemerintah punya kementrian
sendiri, dan pemerintah juga mendorong elektronisasi di semua sektor,
termasuk sektor pendidikan, sampai ke kampung dan pelosok di daerah
terluar sekalipun.
Jadi apalagi yang ditunggu? Beberapa
pendidikan formal sampai tingkat yang tertinggi boleh dipertahankan
(tentu harus ada yang menghasilkan peneliti, doktor, dokter, lawyer atau
profesional lainnya dan profesor) dan belajar tingkat calistung (baca,
tulis, hitung) boleh diwajibkan terus untuk mencegah buta huruf dan
memungkinkan orang untuk memakai internet.
Selebihnya biarkan orang belajar
sendiri sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing. Mau belajar
kuliner, treking, PR, marketing , musik, bahkan jadi selebritas agar
bisa masuk infotainment, silakan pilih sendiri. Tapi awas : orang
belajar merakit bom juga bisa dari internet.
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 14 Desember 2014Category: Artikel Pendidikan, Artikel Umum, Sekolah
0 komentar